Lebih Memahami Anak dengan Analisis Sidik Jari
Daftar Isi
Terus terang, analisis sidik jari untuk mengetahui bakat dan kecenderungan anak baru kali ini kami dengar. Kami antusias. Karena setelah beberapa tahun lalu pernah membaca buku Ayah Edy, Memetakan Potensi Unggul Anak. Sampai sekarang pun kami masih penasaran untuk mengetahui potensi unggul Ara dan Kira secara lebih akurat.
Sempat terpikir untuk mengikutkan Ara ke psikotes yang diampu tim psikolog profesional? Namun kemudian ragu sendiri, mengingat tes-tes semacam itu biasanya lama dan membosankan, bahkan untuk orang dewasa. Ara rasanya tidak bakal betah mengikutinya.
Kebetulan, beberapa waktu yang lalu, sekolah Ara mengadakan presentasi tentang analisa sidik jari. Pematerinya adalah Fingerprint Motivation. Presentasi tersebut, meskipun hanya satu jam, cukup untuk menjelaskan pentingnya menganalisis sidik jari sejak usia dini.
Jadi, sidik jari ternyata bukan hanya untuk mengidentifikasi pelaku kriminal. Metode ini ternyata juga efektif untuk mendeteksi karakter anak, yang pada gilirannya berpengaruh kepada gaya belajar si anak.
Umpamanya ada anak yang cenderung tidak bisa diam, tetapi dia mampu menyerap pelajaran di kelas. Kemungkinan, cara belajar anak ini bersifat auditori. Harus melalui pendengaran. Kalau dia dipaksa belajar melalui media visual, agak sulit.
Orang tua yang tidak mengenal gaya belajar yang seharusnya diterapkan si anak bisa kebingungan menghadapi situasi ini. Ujung-ujungnya akan menganggap anaknya bodoh. Padahal, masalahnya hanya pada metode belajar yang tidak pas.
Makanya, di sinilah kita perlu mengetahui potensi anak sedini mungkin dengan analisis sidik jari.
Metode ini juga mampu menganalisis otak kanan dan kiri anak. Tidak semua anak “suka” menggunakan otak kiri (logika). Begitu juga sebaliknya. Makanya, ketahuilah si anak lebih nyaman menggunakan yang mana. Kita dapat mengetahui otak mana yang dominan dipakai anak melalui analisis fingerprint.
Kita juga bisa menggunakannya untuk mengetahui karakter, tipe kecerdasan majemuk anak yang paling menonjol (verbal, naturalis, spiritual, seni, atau lainnya), memilih jurusan saat kuliah nanti, dan urusan karier atau bisnis.
Analisis sidik jari diklaim lebih baik dibanding Tes IQ. Kalau mengikuti tes IQ, anak harus dalam keadaan sehat dan benar-benar siap. Waktunya juga lama.
Sedangkan analisis sidik jari dapat dilakukan dalam kondisi apapun. Sambil tidur atau sakit pun bisa. Anak yang sehat walafiat sampai anak berkebutuhan khusus tidak ada pantangan. Pada usia berapa pun silakan, karena sebenarnya sidik jari sudah terbentuk permanen saat bayi dalam kandungan. Hanya, disarankan anak berumur minimal 1,5 tahun dulu untuk mengikuti tes ini, supaya sudah mulai terlihat juga bagaimana perilakunya.
Waktu yang dibutuhkan untuk tes sidik jari cukup 5-15 menit. Tinggal menempelkan 10 jari tangan ke mesin pemindai (scanner), beres. Dengan catatan, jari tangan tidak boleh berkeringat atau basah, karena bisa membuat proses identifikasi eror. Selain itu, sidik jari-jari tangan juga harus tidak sedang rusak atau terluka parah.
Analisis sidik jari hanya perlu dilakukan sekali seumur hidup. Karena sidik jari seseorang akan tetap sama sejak lahir sampai meninggal. Bandingkan dengan psikotes atau Tes IQ yang perlu dilakukan berulang-ulang, karena hasilnya bisa berubah seiring perkembangan mental seseorang.
Berita buruknya, untuk mengikuti analisis sidik jari, diperlukan biaya yang lumayan. Kalau di sekolah Ara, biayanya Rp400.000 ke atas. Sebenarnya, mau gratis pun bisa, karena ada beberapa yang mengadakannya secara daring. Yang mahal itu ulasannya. Diperlukan seorang pakar untuk menguraikan hasil tes secara relevans terhadap kehidupan si anak.
Apakah hasilnya dapat dipercaya?
Kami tidak berkompeten untuk menjawab ini. Yang jelas, kita tidak menutup mata bahwa ada juga yang meragukan keabsahan fingerprint analysis ini. Ada yang menyamakannya dengan ramalan garis tangan, tidak logis karena mana mungkin hidup seseorang bisa dinilai dari lekuk-lekuk sidik jarinya, dan sebagainya.
Jadi, silakan dikaji dan diputuskan sendiri. Mau mencoba, memang tidak ada salahnya. Mau bersikap skeptis juga tidak apa-apa. Bagi kami, yang terpenting, selalu lakukan yang terbaik dan bina keintiman dengan anak-anak kita.
- Foto: Rie Yanti