Orang Tua Milenial, Yuk Lirik Potensi Desa!
Daftar Isi
Kami masih ingin sedikit melanjutkan tulisan sebelumnya tentang hidup di desa. Ayah-Bunda, jangan bayangkan desa itu wilayah yang udik, jauh dari peradaban, dan serbasulit seperti zaman dulu. Desa hari ini begitu seksi dan modern. Ya, tentunya, kota tetap jauh lebih modern. Dan tentu, masih banyak juga desa yang kemajuannya begitu-begitu saja. Tetapi kita tidak sedang membahas desa-desa semacam itu. Biarlah itu menjadi PR pemerintah.
Toh, pemerintah sedang sayang-sayangnya kepada desa. Tiap tahun, dana desa dikucurkan. Jumlahnya Rp20,76 triliun pada 2015, lalu naik hampir tiap tahun, sampai Rp73 triliun pada 2019 ini.
Hasilnya sudah lumayan. Dengan suntikan rata-rata Rp800 juta/desa/tahun itu, jumlah Desa Tertinggal berkurang, dan Desa Berkembang serta Desa Mandiri bertambah. Menurut data Kementerian Desa dan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah Desa Tertinggal pada 2014 adalah 19.750 dari total 75.346 desa di Indonesia. Sekarang, tinggal 13.232 desa. Sebaliknya, Desa Mandiri jumlahnya melejit dari 2.894 (2014) menjadi 5.559 (2018).
Desa dan Tren Digital Nomad
Dulu di era Orde Baru, pemerintah berusaha menggalakkan program transmigrasi dengan iming-iming tanah, sawah, atau rumah. Sekarang, iming-iming itu lebih simpel: infrastruktur. Ini menarik, terutama bagi kita, para orang tua dari kelompok demografi yang lahir tahun 1980-2000, atau dalam bahasa kekinian biasa disebut milenial alias Gen Y.Di satu sisi, kaum milenial sedang memulai revolusi (atau disrupsi) tentang bagaimana mencari uang. Sebagian dari kita, sebagaimana Yayah dan Bunda, tidak lagi silau dengan profesi kantoran. Kami ingin bekerja fleksibel. Bebas waktunya, bebas tempatnya.
Karena itu, kita mengenal istilah digital nomad, yaitu kaum yang bisa bekerja di rumah, pantai, empang, atau di mana pun dia mau. Desainer, penulis profesional, programmer, fotografer, tutor, marketer, adalah contoh profesi-profesi yang dapat dijalankan sebagai digital nomad.
Mereka ini jarang bertatap muka dengan bos atau klien mereka. Rapat pun cukup melalui video call atau telekonferensi. Jadi, internet termasuk bahan pokok kesepuluh, di luar sembako, bagi generasi milenial.
Nah, internet sendiri bukan barang langka di desa, Ayah-Bunda. Sejak 2015 sampai Oktober 2018, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) telah membangun 758 menara pemancar BTS, dan menyediakan internet di 2.757 lokasi dari 33 provinsi. Layanan itu sebagian besar dalam 2G, tetapi pada tahun ini akan ditingkatkan menjadi 4G. Target Bakti pada 2019 adalah 5.000 BTS.
Orang Tua Milenial Bisa Berkembang di Desa
Secara alami, desa memiliki sejumlah potensi yang memikat milenial. Persaingan usahanya belum segila di perkotaan, biaya sandang-pangan-papannya jauh lebih murah, dan alamnya lebih sehat.Kita tahu, sedah terlalu banyak polusi di kota: polusi udara, air, tanah, suara, budaya, dan sebagainya. Dampaknya bukan cuma ke fisik, tetapi juga kesehatan mental dan kecerdasan. Bukan hanya ke kita, tetapi juga anak-anak kita!
Seperti yang kami tulis di artikel Homerie sebelum ini, ada penelitian terbaru terhadap 1 juta anak di Denmark. Kesimpulannya, peluang depresi anak-anak yang dibesarkan di desa 55% lebih rendah saat dewasa.
Maka wajar bila penganut gaya hidup sehat mulai berpikir untuk menetap di desa. Walau mereka juga mempertanyakan, bagaimana kehidupan ekonomi di desa? Sebandingkah dengan pendapatan di kota?
Bagaimanapun, dengan modal kreativitas dan infrastruktur yang mulai terbangun di desa, rasanya peluang selalu terbentang. Kita selalu bisa membawa profesionalisme ala kota ke desa. Selama produk atau jasa yang kita tawarkan sesuai standar, pembeli atau klien takkan peduli posisi kita di desa atau kota.
Pendidikan Anak di Desa
Ini juga hal yang menarik, karena berkaitan dengan masa depan anak. Bagi kami, pendidikan di desa relatif tidak ada masalah. Kecuali jika orientasi kita sejak awal memang sekolah swasta yang bertaraf internasional.Dinas Pendidikan telah menerapkan Sistem Zonasi. Konsekwensinya, guru-guru berkualitas takkan menetap di satu zona sekolah. Mereka akan terus dirotasi demi pemerataan. Tidak ada lagi sekolah favorit, karena semua akan sesuai standar pemerintah, baik guru maupun fasilitasnya. Payung hukumnya, yakni Keputusan Presiden (Keppres), diteken tahun ini.
Bukan hanya itu kabar baiknya, Ayah-Bunda. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga tengah merintis penyelenggaraan pendidikan jarak jauh melalui internet, sebagaimana yang telah menjadi tren di negara-negara maju.
Kalau sistem ini sudah berjalan baik, anak-anak desa dipastikan dapat mengikuti berbagai kursus ilmu terkini, bahkan perkuliahan, sebagaimana teman-temannya di kota, dan mendapat pengakuan formal.
Apalagi kalau kita tidak berorientasi pada sertifikat-sertifikat. Ada banyak sekali seminar dan workshop daring bermutu di internet yang bisa diikuti dari manapun. Mulai dari yang gratis sampai berbayar.
Belum lagi pendidikan-pendidikan spesifik yang sulit kita peroleh di kota, seperti belajar beternak, berkebun, olahraga secara lebih bebas (banyak lahan di desa), dan sebagainya.
Menarik, bukan?
Bagaimanapun, desa adalah desa dan kota tetaplah kota. Keduanya tidak akan bisa setara dan sama majunya.
Namun sulit dibantah, semakin lama orang kota pun semakin melipir mencari rumah ke ring II kota. Lalu, geser lagi ke ring III. Hingga lama-lama, mereka tinggal di desa yang tidak jauh dari kota. Itu karena biaya hidup di kota (bahkan yang pinggiran sekalipun) sudah demikian mahalnya, terutama bila kita berbicara harga properti.
Nah, kalau memungkinkan, kenapa tidak sekalian kita niati hidup di desa saja? Hitung-hitung, ikut membantu pemerintah meratakan penyebaran penduduk.