Perlukah Anak Mengikuti Lomba?
Daftar Isi
Selama bersekolah di Taman Kanak-kanak (TK), Ara beberapa kali mengikuti lomba. Belum pernah menang sekali pun. Termasuk di lomba membaca syair yang menurut kami serta guru-gurunya sesuai dengan kebisaannya yang suka bercerita dan mendongeng.
Tidak masalah. Kami memang tidak menuntut Ara untuk menang. Kami setuju Ara ditunjuk untuk mewakili sekolah hanya karena menurut kami itu bagus untuk melatih kepercayaan diri serta keberaniannya menghadapi publik. Membangun sikap mental yang positif terlebih dahulu kami rasa perlu untuk Ara.
Dulu, sewaktu pertama-tama mengikuti lomba (Agustusan), Ara pernah menangis karena melihat beberapa temannya diberi hadiah sedangkan dia tidak. Barangkali lantaran di keluarganya, dia selalu diistimewakan, di sekolah pun dia berharap tetap akan mendapat keistimewaan itu (hadiah) meskipun tanpa melakukan apapun (kerja keras dan menang lomba).
Waktu itu, Ara belum paham bahwa takkan ada hadiah untuk yang kalah. Kalau mau hadiah, maka menanglah. Itu yang kemudian kami tekankan. Tetapi kami juga memberitahunya bahwa dia tidak wajib menang dalam lomba apapun, kecuali dia memang menginginkannya.
Kalah Pun Tidak Mengapa
Beberapa waktu lalu, ada lomba menggambar yang wajib diikuti siswa TK dan orang tua. Karena ini lomba orang tua dan anak, Bunda dan Ara pun bahu-membahu menggambar. Ara yang punya ide mau menggambar apa. Bunda hanya membantu dan memberi masukan.Akhirnya, kami tidak menang. Kami sudah menduganya, karena ini memang bukan bidang Ara. Namun, Bunda bangga karena sudah bekerja 50:50 layaknya sebuah tim. Ara tidak merengek meminta Bunda yang menggambar. Walaupun di kanan-kirinya, beberapa peserta sampai harus ditegur panitia lantaran yang menggambar dan mewarnai kebanyakan orang tuanya. Jelas saja gambar dan pewarnaannya jauh lebih rapi.
Lalu, tibalah waktu pengumuman pemenang. Dari setiap sekolah, dipilih enam murid sebagai wakil ke babak final. Salah satu dari yang terpilih ini, ternyata komplain dan mengundurkan diri. Alasannya, si anak lelah ikut lomba terus tetapi tidak mendapat apa-apa. Jangankan piala, konsumsi si anak saja harus ditanggung sendiri.
Jadi ceritanya, ketika lomba, orang tuanyalah yang banyak bekerja. Kebetulan, ayah si anak jago melukis. Karyanya jelas lebih bagus dari mereka yang berbakat standar di bidang ini. Namun, seharusnya siapapun tahu, itu bukan karya si anak.
Dari masalah itu, Bunda jadi kepikiran. Jangan-jangan dengan mengikuti lomba, apalagi kalau sering-sering, malah akan menjadi kontraproduktif?
Misalnya, jika si anak terus-terusan kalah, emosinya jadi negatif. Atau seperti kasus teman Ara, si anak jadi lelah dan malas. Ujung-ujungnya, dia meminta orang lain (dalam kasus di atas orang tuanya) untuk mengerjakan apa yang seharusnya dia kerjakan. Mulailah tertanam benih-benih ketidakjujuran. Patut disayangkan, bukan?
Lomba Penting, Jika...
Ayah Edy pernah menjelaskan, bahwa setiap anak dilahirkan unik, dengan potensi masing-masing. Jika anak itu membawa bibit pohon kelapa, maka dia tidak akan tumbuh menjadi pohon mangga, sekalipun ditanam di kebun mangga.Beberapa orang tua tidak menyadari hal itu. Menurut mereka, setiap anak harus ikut lomba, apapun lomba itu. Jadi meskipun si anak hanya berbakat olahraga, kalau sekolah menyelenggarakan lomba menyanyi, harus ikut menyanyi! Apa gunanya, coba? Si anak dan orang tua akan rugi waktu, tenaga, dan materi.
Namun bagaimanapun, lomba dan kompetisi tetap sesuatu yang positif bagi tumbuh-kembang buah hati kita. Terutama bila:
- Bidang yang dilombakan sesuai minat dan bakat anak. Jangan sampai ikan dipaksa untuk terbang. Kalau anak kita ikan, umpamanya, silakan saja mengajaknya ikut lomba berenang. Agar kita tahu sampai sejauh mana kebolehannya dibanding ikan-ikan sebayanya. Dalam hal ini, lomba akan sangat bagus untuk menguji, benarkah minat anak kita ini sesuai bakatnya?
- Tidak memaksakan diri. Untuk lomba-lomba yang berbayar, sesuaikan dengan kondisi finansial orang tua. Tidak perlu memaksakan diri. Lomba bukanlah satu-satunya jalan meraih masa depan.
- Tidak ada beban “harus menang” untuk anak. Apalagi bila si anak mudah panik atau merasa bersalah. Barangkali, kita perlu memberi tahunya, “Kamu nggak harus menang, kok. Tetapi janji, lakukan yang terbaik, ya.”
- Prinsip kejujuran diutamakan. Jika itu lomba menggambar atau mengarang, biarkan anak untuk mengerjakannya sendiri. Jangan sampai meminta orang lain membantunya. Ajari anak untuk menghargai hasil karya sendiri dan orang lain. Kalau kita membiasakan anak mengklaim kerja orang tua sebagai karyanya, wajarlah bila saat ini dan ke depan semakin banyak generasi yang suka membajak atau menggunakan karya orang lain demi keuntungannya sendiri (memanfaatkan barang bajakan), tanpa perasaan bersalah. Itu salah satu dampak buruknya.
- Orang tuanya tidak berambisi. Terkadang, yang greget ikut lomba bukan anaknya. Orang tualah yang berambisi memajang piala atau piagam di rumah, atau berharap punya bahan pembicaraan untuk dipamerkan di depan orang tua yang lain. Seorang ibu menepuk dada, “Anakku Superman. Iiih, dia kuat banget!” Lalu ibu lainnya menyahut, “Wah, hebat, ya. Tapi anakku, dong, Iron-Man! Dia genius dan canggih.” Saling memuji dalam basa-basi, tetapi tujuan sebenarnya adalah membanggakan anak masing-masing. Terdengar familier?
Minat anak akan terus berubah-ubah. Terus pantau dan kaji secara intensif. Perlu kesabaran, memang. Ini adalah proses jangka panjang, bukan hasil pengamatan instan. Sementara proses itu berlangsung, ada baiknya kita memprioritaskan penanaman kejujuran, etika, kerja keras, dan sikap mental yang positif kepada buah hati kita. Karena nilai-nilai itulah yang pasti akan meningkatkan derajatnya sebagai individu.