Orang Tua yang Menelanjangi Anaknya Sendiri
Daftar Isi
Suatu subuh, di Stasiun Pasar Senen Jakarta, kami dikejutkan dengan pemandangan lelaki yang berlarian telanjang bulat keluar dari toilet. Dia tertawa-tawa girang, tidak terpancar sedikit pun rasa malu. Dia bukan orang gila. Umurnya masih balita, dan ibunya segera menyusulnya dari belakang. Kelihatannya, mereka adalah pemilik warung di sana.
Lain waktu, dalam perjalanan kereta Surabaya-Bandung, kami juga melihat seorang bocah perempuan santai keluar dari toilet kereta, lalu melewati lorong, tanpa celana. Bagian vitalnya terekspos tanpa dia berusaha menutupi sedikit pun.
Kami tidak habis pikir, apa yang ada di benak orang tua mereka?
Jangan salah, kami pun dulu tumbuh dalam kultur yang menyepelekan pentingnya menjaga aurat anak. Kultur ini memandang, “Ah, namanya juga anak-anak, santai saja, tidak akan terjadi apa-apa walau telanjang ke sana-kemari. Toh, orang-orang akan melihatnya lucu dan menggemaskan.”
Apalagi bila di balik tindakan itu ada alasan pembenarnya. Umpamanya, karena khawatir celana si anak basah bila pakaiannya dikenakan di toilet, makanya anak disuruh keluar dulu meski dalam keadaan tidak berpakaian.
Di album foto Yayah sendiri, betapa banyak foto bugilnya ketika bayi. Artefak-artefak itu menandakan bagaimana pemikiran orang tua Yayah ketika itu. Untung saja, saat itu belum ada media sosial.
Akibat dari Kultur Mewajarkan Ketelanjangan
Ketika kita membiarkan anak telanjang di depan publik, baik secara langsung maupun melalui foto atau video, sebenarnya kita mengundang beberapa risiko di masa depan. Ini seperti bom waktu.Risiko pertama, Anda tidak pernah tahu ada predator anak atau pedofil yang terpuaskan dengan adegan atau foto itu. Anda tidak pernah tahu, berapa pasang mata yang memperhatikan tubuh telanjang si buah hati. Bagi Anda, tubuh anak tanpa pakaian itu lucu. Tetapi bagi mereka, itu menggairahkan!
Kecil kemungkinan, seorang predator beraksi seketika itu juga, karena Anda masih ada di sekitarnya. Mungkin dia hanya diam, memperhatikan, menikmati, atau diam-diam memfoto dan merekam adegan itu. Selanjutnya, barangkali SOP mereka seperti yang tertulis di artikel ini: Awas, Ancaman Pedofil.
Risiko kedua, dengan mewajarkan anak yang ke sana-kemari tanpa pakaian, artinya Anda menumpulkan saraf malunya. Si anak akan terbiasa dengan kondisi itu, bahkan sampai remaja kelak. Habis mandi susah disuruh segera berpakaian. Gerah sedikit, buka baju. Meskipun ada tamu, dia tetap enak saja mondar-mandir tanpa pakaian.
Orang bilang, “Alah bisa oleh biasa.” Lantaran dibiasakan telanjang, dia pun terbiasa telanjang. Pelan-pelan, hilang rasa malu dan risihnya meski orang lain melihat atau bahkan memegang bagian-bagian tubuh yang seharusnya ditutupinya itu. Ini, kan, berbahaya.
Risiko ketiga, jika terekam foto atau video telanjangnya, dan sampai menyebar, lalu si anak tidak suka, ini bisa jadi konflik orang tua-anak. Terutama ketika si anak beranjak remaja dan mulai memiliki pemikiran sendiri. Tidak terlepas kemungkinan, dia akan mulai sadar ada privasinya di masa lalu yang dilanggar.
Dan celakanya, sekali konten diunggah ke internet, selamanya konten tersebut di sana. Sekalipun kita menghapusnya, di suatu tempat dalam database jagat maya, konten itu masih ada. Apalagi bila seseorang sengaja mengunduh atau menyimpannya.
Kalau Anda sulit membayangkan peliknya masalah ini, coba tengok artis panas zaman dulu yang sekarang sudah berhijrah. Bukan saja tidak lagi melakukan adegan-adegan panas, dia juga berjilbab dan rajin mengisi pengajian. Namun lantaran film-film kelamnya sudah tersebar, semua seolah sia-sia. Orang tetap saja bisa melihat bagian-bagian tubuhnya saat masih muda dan belum tobat dulu.
Bagaimanapun, artis itu masih beruntung. Dia menanggung hasil ulahnya sendiri. Kalau anak kita? Salah-salah, dia harus menanggung ulah orang lain, yaitu kita selaku orang tuanya. Sial sekali nasibnya!
Sampai sini, mari renungkan kembali. Bijakkah sebagai orang tua, kita membiarkan publik melihat tubuh polos anak kita? Tegakah kita menelanjangi anak sendiri di depan umum?