Berwisata Kampung Melayu di Jalan Panggung, Surabaya Kota Lama

Daftar Isi
Berwisata Kampung Melayu di Jalan Panggung, Surabaya Kota Lama  

Kalau Ayah-Bunda terus menyusuri Surabaya Kota Lama sampai lewat Jembatan Merah, sebelum mencapai Kembang Jepun, beloklah ke sebuah jalan di sebelah kiri. Di sana ada sebuah area bernama Jalan Panggung.

Kawasan ini termasuk Zona Melayu. Memang, penampilannya tidak semenarik Zona Eropa. Namun, kampung ini juga memiliki nilai historis yang tidak kalah menarik.

Asal Mula Jalan Panggung, Kampung Melayu

Asal Mula Jalan Panggung, Kampung Melayu

Selain Zona Arab, Pecinan, dan Eropa, Kota Lama Surabaya juga memiliki Zona Melayu. Salah satunya kampung ini.

Jalan Panggung pernah menjadi pusat aktivitas etnis Melayu di Surabaya. Adalah pemerintah kolonial Belanda yang membuat pemisahan zona-zona berdasarkan etnis ini. Namun, seiring berjalannya waktu, pengelompokan ini tidak lagi signifikan dengan adanya aktivitas perdagangan yang makin meluas.

Ayah-Bunda tahu, kan, Surabaya Utara saat itu merupakan pusat perdagangan dan pemerintahan pada masa pra kolonial dan kolonial Belanda?

Hal ini dikarenakan letaknya yang berdekatan dengan Sungai Kalimas. Di sungai ini, kapal-kapal yang membawa beragam komoditas dari luar daerah berlayar, sebelum akhirnya berlabuh di Surabaya. Meski akhirnya pihak Belanda memindahkan pelabuhan tersebut ke kawasan Tanjung Perak Surabaya.

Rumah Panggung, Cikal Bakal Ruko Modern

Rumah Panggung, Cikal Bakal Ruko Modern

Di Jalan Panggung, banyak sekali pertokoan dan rumah penduduk yang masih mempertahankan arsitektur originalnya. Sebagiannya masih berupa rumah panggung. Bedanya, rumah panggung di sini tidak terbuat dari kayu dan bagian bawahnya ditinggikan dari tanah menggunakan tiang-tiang kayu.

Rumah panggung di Jalan Panggung sama dengan rumah biasa, tetapi memiliki dua lantai yang berbeda fungsi. Bagian bawah atau lantai satu digunakan untuk tempat usaha, sementara lantai dua merupakan tempat tinggal pemiliknya.

Inilah cikal bakal konsep rumah toko (ruko) yang sekarang banyak dibangun. Satu bangunan memiliki dua fungsi, sebagai tempat berdagang dan juga tempat tinggal. Jenis bangunan ini biasanya dipilih untuk efisiensi lahan, baik di zaman dulu maupun sekarang.

Mayoritas penduduk yang tinggal di kawasan ini dahulunya adalah pedagang dan warga bumiputera non-Jawa dari Sumatra, Sulawesi, atau Kalimantan. Meski demikian, ada juga warga non-Melayu.

Konon, pada zaman dahulu, Jalan Panggung banyak digunakan juga oleh orang-orang keturunan Arab untuk berdagang minyak wangi.

Revitalisasi Jalan Panggung

Revitalisasi Jalan Panggung

Jalan Panggung pernah dikenal sebagai kawasan tak terawat selama puluhan tahun. Apalagi di sana juga ada Pasar Ikan Pabean yang menambah nuansa kumuh, becek, bau, serta menimbulkan kemacetan. Padahal, ini adalah kawasan bersejarah.

Karena itulah, Pemerintah Kota Surabaya berinisiatif melakukan revitalisasi. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain dengan pengecatan, pemasangan lampu hias klasik, dan paving block. Tujuannya untuk menarik wisatawan berkunjung ke kawasan wisata kota tua tersebut.

Beberapa pihak kurang menyetujui revitalisasi tersebut. Pasalnya, revitalisasi dinilai dapat mengurangi nilai sejarah Jalan Panggung. Apalagi pengecatan ulang yang berpotensi membuat bangunan-bangunan di Jalan Panggung menjadi berwarna-warni dan kehilangan warna asli bangunan.

Walau begitu, revitalisasi tetap berjalan. Warga Surabaya atau wisatawan kini dapat menikmati Jalan Panggung dengan suasana yang berbeda, tetapi masih terasa nuansa kolonialnya.

Di Jalan Panggung, Ayah-Bunda akan dibawa seolah-olah sedang menelusuri jalanan khas perkampungan Melayu era kolonialisme. Bangunan-bangunan berdiri rapi, diterangi lampu-lampu berdesain klasik khas benua biru.

Namun, gara-gara pandemi, keadaan Jalan Panggung kembali ke setelan awal: tak terawat dan kumuh. Warna-warni bangunan hasil revitalisasi sudah kusam, lampu-lampu hias juga banyak yang rusak. Belum lagi aktivitas Pasar Pabean dengan segala aroma dan keramaiannya menghadirkan ketidaknyamanan bagi turis.

Saat menyambangi kawasan ini, Keluarga Kecil Homerie juga merasa kurang nyaman. Kami hampir tidak merasakan nuansa kolonialisme yang kemelayu-melayuan di sini. Tanah yang becek, hiruk-pikuk jalan dan pasar, membuat Bunda seperti berada di pasar tradisional di kampung halamannya.

“Apa yang unik dari Jalan Panggung ini?” pikir Bunda.

Padahal, kalau daerah ini kembali dirawat dan pasarnya ditertibkan, niscaya banyak spot foto yang menarik. Sebab pada dasarnya, keragaman budaya bisa lahir di sini. Perawakan orang dari berbagai ras dan bahasa yang berbeda dapat membuat kawasan ini benar-benar hidup.

Bahkan di sekitar sini, juga terdapat Masjid Serang yang tata caranya mengadopsi kebudayaan Yaman, di mana saf masjidnya hanya diperuntukkan bagi jemaah laki-laki. Benar-benar multikultural, bukan?

Jalan Panggung Kota Lama Surabaya

Jalan Panggung Kota Lama Surabaya

Meski kondisinya sekarang kumuh, Jalan Panggung sebenarnya layak dikunjungi. Apalagi kalau Ayah-Bunda mau sekalian belanja ke Pasar Pabean. Tidak hanya ikan yang dijual di sana. Ada juga buah, rempah-rempah, dan sembako.

Jika Ayah-Bunda mau berwisata kampung ke Jalan Panggung, cara mengaksesnya sama saja dengan ke Kota Lama. Bisa langsung menuju lokasi dengan kendaraan pribadi, taksi atau ojek daring. Atau, bila naik Bus Suroboyo, turunlah di Halte Jembatan Merah.

Dengan berjalan kaki sejauh 600 meter, setelah melewati Jembatan Merah, Ayah-Bunda sudah bisa sampai di jalan ini. Tepatnya, sebelum gapura Kya-Kya, terdapat jalan masuk ke arah kiri.

  • Alamat: Jalan Panggung, Kelurahan Nyamplungan, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya, Jawa Timur 60162 (Google Maps)
  • Jam Buka: 24 Jam
  • HTM: Gratis